29 April 2011

Amerika Memang Hegemon, Kita Masih Inlander

Selama istirahat minum kopi dan makan singkong goreng dan tahu dan martabak, tiba-tiba Sufi Kenthir mengaku baru saja mendapat SMS dari Aditya, keponakannya yang sedang studi sosiologi di Boston Amerika. Isi SMS mengabarkan bahwa Aditya baru saja mengirim buku tulisan George Friedman yang berjudul America’s Secret War: Inside the Hidden Worldwide Struggle Between America and Its Enemies lewat e-book. “Tapi untuk buku baru itu, kita bahas waktu berikutnya ya,” kata Sufi Kenthir sambil menyantap sepotong martabak,”Aku butuh waktu untuk baca isinya.”

Sufi tua yang terus menyeruput kopi, tanpa mengacu pada buku The Next 1000 Years. A Forecast for the 21st Century karya George Friedman, tiba-tiba mengemukakan pandangan bahwa sejatinya negeri Uncle Sam itu memang sudah merupakan hegemon jika menggunakan teori tatanan dunia-nya Immanuel Wallerstein. “Bahkan dalam fakta,kita bisa melihat dengan riil bagaimana bangsa-bangsa di dunia, baik secara terpaksa atau sukarela tunduk kepada aturan-aturan yang dibikin super power itu,” kata Sufi tua.

Ingin memberi kesempatan kepada Sufi tua mengemukakan pandangan, Guru Sufi memanjangkan waktu istirahat dan meminta Sufi tua untuk melanjutkan pandangannya. “Apa yang membuat sampeyan punya pandangan seperti itu, kang,” kata Guru Sufi ingin penjelasan,”Maksudku, aturan-aturan apa yang dibikin Amerika yang menurut sampeyan dipatuh-tunduki oleh bangsa-bangsa di dunia?”

“Maksudku bukan aturan formal-prosedural seperti ketetapan Dewan Keamanan PBB,’ sahut Sufi tua menerangkan,”Tapi aturan-aturan sistemik-sistematik yang secara sadar dan tidak sadar diikuti bangsa-bangsa di dunia.”

“Contohnya?” tanya Guru Sufi memancing.

“Hegemoni Bahasa Inggris,” tukas Sufi tua.

“Hegemoni Bahasa Inggris?”

“Ya hegemoni bahasa Inggris,” kata Sufi tua menjelaskan,”Di mana secara faktual, Bahasa Inggris tidak saja sudah menjadi “kebutuhan” bersifat internasional, melainkan sudah menjadi gaya hidup bagi bangsa-bangsa di dunia khususnya di negara-negara dunia ketiga. Bahasa Inggris, tidak sekedar dibutuhkan sebagai bahasa antara-bangsa dalam hubungan internasional, melainkan sudah menjadi status simbol bagi masyarakat untuk memposisikan diri dalam stratifikasi sosial. Bahasa Inggris dalam tata pergaulan menempati kedudukan supra-status sebagai bahasa yang representasi mewakili kalangan the have, bisnismen, intelektual, akademisi, dan kalangan terdidik di suatu negara. Sementara bahasa nasional apalagi bahasa daerah di suatu negara, menempati kedudukan infra-status sebagai bahasa rendahan yang representasi mewakili kalangan grass-root, uneducated dan primitive.”

“Ada semacam asumsi umum yang menyatakan bahwa orang-orang yang berkomunikasi dalam bahasa Inggris status sosial dan status budayanya lebih tinggi dibanding orang-orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa daerah. Bahkan dalam sebuah pertemuan tahunan suku-suku terasing yang ditandai pertunjukan-pertunjukan seni budaya lokal, kalangan anak mudanya merasa sangat bangga dan sangat yakin diri jika dalam berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa Inggris. Kepada pers mereka ingin memamerkan bahwa kedudukan mereka tidak berada di bawah masyarakat kota, yang hal itu ditunjukkan dengan bukti kemampuan mereka dalam berbahasa Inggris.

“Di negara-negara terbelakang dan miskin, sejauh yang aku tahu, banyak aturan yang dibuat dengan keharusan menggunakan Bahasa Inggris sebagai acuan utama. Untuk orang-orang yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan pasca-sarjana S-2 dan S-3, misal, wajib menyertakan syarat kelulusan TOEFL apalagi jika akan belajar ke luar negeri, khususnya ke Amerika, wajib TOEFL di atas 600. Nah, dengan kedudukan Bahasa Inggris yang superior itu, berbagai jenis pendidikan Bahasa Inggris – mulai formal hingga non formal – berkembang di negara-negara dunia ketiga seperti jamur di musim hujan. Simpulanku, Bahasa Inggris benar-benar menjadi hegemon atas bahasa-bahasa lain di dunia, bahkan telah menjadi ukuran stigmatis bagi penggunanya.”

Guru Sufi ketawa mendengar uraian Sufi tua. Lalu sambil menahan tawa ia berkata,”Soal hegemoni bahasa Inggris itu juga dibahas George Friedman, kang.”

“Lho apa iya toh?” tanya Sufi tua kaget.

“Itu maknanya, fakta-fakta yang dikemukakan Friedman memang riil, termasuk sudah sampeyan fahami sekalipun sampeyan belum membaca buku ini,” kata Guru Sufi menegaskan,”Tetapi, ada sedikit perbedaan antara pandangan sampeyan dengan pandangan Friedman.”

“Soal apa itu?” tanya Sufi tua ingin tahu.

“Kemanfaatan? Maksudnya bagaimana?” tanya Sufi tua penasaran.

“Dengan tumbuh menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan Bahasa Inggris, baik formal maupun non-formal di berbagai negara, maka lembaga-lembaga pendidikan yang profesional akan membutuhkan native speaker. Nah, di tengah pasar kerja dunia yang butuh profesionalitas dan kualitas, Amerika cukup menyediakan warganegaranya dari yang profesional dan berkualitas sampai yang memble dan underdog sebagai native-speaker. Maknanya, warganegara Amerika yang gaptek, geblek, IQ jongkok, kuper, bahkan yang paling goblok dapat menjadi pengajar native-speaker. Karena di lembaga-lembaga pendidikan bahasa di berbagai negara dunia ketiga, yang dibutuhkan adalah native-speaker tanpa dilihat profesionalitas dan kualitasnya,” kata Guru Sufi memaparkan.

“Waduh itu benar sekali, Mbah Kyai,” sahut Didik Suneo yang sudah setahun ikut kursus Bahasa Inggris dan saat ini mengambil program TOEFL,”Mr John, Native-speaker di kursusan saya, gebleknya gak ketulungan. Ditanya ini-itu, gak pernah bisa jawab. Dia selalu berkilah kalau tugasnya adalah native-speaker, tidak yang lain. Jadi fungsi dia tak lebih seperti kaset yang diputar ulang dari waktu ke waktu.”

“Lepas dari geblek, memble, kuper, IQ jongkok, yang pasti native-speaker seperti Mr John itu telah mendongkrak kredibelitas dan popularitas kursusan tempatmu belajar. Soalnya, bagai orang-orang bermental inlander sepewrti kebanyakan sebangsa kita, keberadaan native-speaker yang kulit putih sudah merupakan trade mark tersendiri yang menunjuk pada profesionalitas dan kualitas kursusan. Jadi mahal pun tidak masalah asalkan ada bule yang jadi native-speaker,” kata Guru Sufi.

“Jadi kita ini sebenarnya korban hegemoni, begitukah Mbah Kyai?” kata Didik Suneo dengan nada tanya.

“Ya seperti itulah.”

“Kenapa bisa seperti itu, Mbah Kyai?”

“Masyarakat bermental agraris yang sombong dan suka pamer ditambah jiwa kerdil yang masih menyisakan mentalitas bangsa terjajah, memungkinkan keadaan re-colonialism dalam berbagai aspek terjadi sebagai keniscayaan,” sahut Guru Sufi.

“Berarti kita ini belum merdeka. Mbah Kyai?” tanya Didik Suneo penasaran.

“Secara fisik, kita sudah merdeka. Tapi mentalitas kebanyakan kita, masih sangat terjajah.Mentalutas kebanyakan kita masih inlander.”


- agus sunyoto -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...