04 November 2011

Menunggu meskipun hanya satu orang dari DPR RI / pejabat untuk membuat statemen yang ku tunggu.

Setiap saya melihat dan mendengarkan acara dialog yang di siarkan oleh semua stasiun televisi dengan menghadirkan perwakilan dari anggota DPR RI / pejabat, saya semakin jenuh dan bosan dengan statemen dan argumen – argumen yang ujung – ujungnya sama saja, yakni demi kepentingan rakyat. Ya semuanya mereka mengatakan demi kepentingan rakyat, demi kepentingan rakyat dan demi kepentingan rakyat.

Kalimat – kalimat yang selalu ujungnya sama seperti itu membuat saya seperti ada kesepakatan bersama bahwa demi kepentingan rakyat adalah lagu wajib yang harus dinyanyikan ketika salah seorang dari komunitas mereka tampil disetiap panggung dan setiap acara yang diselenggarakan.

Ya memang sungguh mulia dan sangat baik sekali itu orang dengan mengatakan bahwa ketika mereka menyanyikan lagu demi kepentingan rakyat dan jangan sampai rakyat menjadi korban membuat siapa saja dari mereka yang menyanyikan lagu itu terlihat dan terkesan anggun dan bersahaja. Tapi kenapa dalam hati saya kok malah semakin emosi dan panas ketika mereka menyanyikan itu.

Saya justru menunggu kapan mereka akan menyanyikan lagu baru yang berjudul “ saya menjadi anggota DPR / pejabat memang untuk memperkaya diri saya sendiri, untuk korupsi dengan teman – teman saya, untuk menipu para rakyat bodoh, untuk mendukung neo kolonialisme imperialisme dengan topeng demokratisasi, dan untuk mendukung kapitalisme dengan baju globalisasi. Ya, saya tidak malu tujuan saya menjadi anggota DPR / pejabat memang untuk kepentingan saya, anak – anak saya, keluarga saya, anak turun saya, kolega saya, teman – teman saya, dan komunitas saya. Toch mereka adalah bagian dari rakyat jadi tidak salah dong dengan jika saya mengatakan kalau memang saya ini berjuang demi kepentingan rakyat dan jangan sampai rakyat saya menjadi korban”.

Wallahu A’lam

Ternyata Warung kopi masih lebih efektif dari pada facebook dan twitter

Di sela waktu senggang, saya selalu menyempatkan diri untuk ngopi di warung kopi cak Bembus langganganan saya di Desa. Meskipun warung kelas ndeso dan hanya menyediakan minuman biasa kelas warung kopi serta menu bakso seharga 3000 rupiah per porsi meskipun isinya bisa dibilang kurang dari kata mengenyangkan, saya tetap suka untuk ngopi disitu.

Sisi fitur yang menjadi menarik di warung cak Bembus menurut saya adalah dia tidak pernah lupa untuk menyediakan surat kabar, meja yang di permak menjadi papan catur, halaman rumah yang di kasih seperangkat multi media berisi tv, VCD, dan speaker lengkap dengan berbagai macam lagu – lagu hiburan sesuai dengan waktunya, kalau pagi dari jam 06.00 sampai jam 08.00 di isi dengan musik untuk kelas anak – anak kecil, agak siang di isi dengan lagu dangdut koplo, lebih siang sampe sore hari di isi dengan lagu – lagu santai, dan dari sore sampai malam terkadang di isi lagu – lagu acoustic semacam iwan fals dan juga acara siaran langsung sepak bola baik domestik maupun luar negeri.

Saya menganggap sosok cak bembus adalah fenomena warung kopi sederhana tapi punya visi untuk menghibur berbagai macam orang yang datang disitu. Seperti saya yang terbiasa kalau ngopi selalu menyempatkan untuk membaca surat kabar, dia biasa tanggap dengan kegiatan saya jadi ketika saya datang dia langsung bilang “ mas korannya ada di meja sana “. Secara pribadi saya tersanjung dengan cara memperlakukan pengunjung warung kopinya.

Bukan hanya saya, menurut persepsi saya orang – orang yang mampir disitu terkesan nyaman dan enjoy dengan berkumpul bersama, bermain catur bersama, nonton bola bersama, dan saling berbagi informasi bersama. Disinilah letak sudut yang menjadi perhatian saya.

Ketika mengamati orang- orang dari berbagai macam kalangan mulai dari petani, swasta, aparatur desa, pengangguran, anak sekolahan dan lain – lain yang ikut nimbrung disitu, mereka seperti ingin menjadi bagian dari komunitas kecil serta dadakan di warung itu. Mereka mengobrol mulai dari isu kecil tingkat RT sampai isu besar tingkat internasional.

Saya juga kadang tersenyum saja ketika mendengar mereka berdialog tentang isu – isu yang mereka munculkan meskipun kenyataannya isu tersebut jauh dari kata obyektif, tetapi saya tetap terkesan dengan kemasan mereka menyajikan isi pikiran mereka yang dikeluarkan, yang dengan suasana santai dan berebut untuk menjadi bahan tertawaan.

Disinilah letak hal yang langka menurut saya dimasa modern yang di dukung dengan kemajuan teknologi dan informasi yang pesat, sampai muncul yang namanya facebook dan twitter sebagai alat untuk menyalurkan eksperesi, curahan hati, sharing info, menipu, promosi dan lain sebagainya, tetap ada yang kurang menurut saya.

Kekurangan yang saya maksudkan adalah tidak adanya tatap muka diantara masing – masing pihak, saya sebagai orang yang sedang belajar bersosial menyimpulkan bahwa ngobrol dan berbagi dengan orang – orang yang kita inginkan masih lebih efektif ketemu dan bertatap mata secara langsung dari pada melalui alat semacam facebook, twitter dan sebagainya.

Alasan yang mendasari saya kenapa bisa menyimpulkan seperti diatas adalah karena saya merasakan sendiri efek secara langsung ketika kita ngobrol dan bersosial dengan orang – orang lama dan kenalan baru, saya bisa mengamati mimik muka dan gesture orang yang sedang bertemu dengan kita. Saya bisa menambah banyak relasi entah itu dia bajingan atau orang baik secara langsung dan real tidak seperti di facebook dan twitter. Saya bisa menjadi lebih peka sosial terhadap orang – orang yang saya temui secara langsung dengan menemukan berbagai macam ekspresi mereka. Dan saya menemukan kedewasaan dalam bersosial ketika saya bertemu secara langsung tanpa bantuan media. Saya juga menemukan rasa kesederhanaan yang di tampilkan diwarung kopi ndeso dari pada cafe – cafe modern dengan balutan hotspot dan aneka hiburan kelas atas yang dimana mungkin menurut persepsi saya digunakan sebagai ajang pamer dan gengsi sosial oleh para pengunjungnya yang dimana menurut saya ini malah membikin ketidak sehatan secara sosial.

Dengan perbandingan itu saya bisa membedakan bahwa warung kopi ndeso itu lebih efektif untuk saling mengenal dan saling menghargai seseorang dengan upaya saling memanusiakan manusia sebagai contoh kecil ketika saya diwarung kopi ndeso, saya mendengarkan orang yang sedang dihidangkan pesanannya orang tersebut mengatakan “MONGGOH” kepada saya, meskipun yang dipesan itu hanya segelas kopi tapi kesediaannya untuk berbagi dengan orang disampingnya itu menandakan kedewasaan moral walaupun mereka orang ndeso dan akan jarang kita jumpai di daerah – daerah yang sudah mulai beranjak modern dan bahkan mungkin akan langka seiring berkembangnya teknologi dan informasi yang semakin ngebut kelak.

Wallohu a’lam.

01 Mei 2011

Maksiat, Laknat, Taubat, dan Rahmat

Setelah dihajar bencana beruntun seperti angin puting beliung, banjir, hujan tak kunjung redah, hama tikus, gagal panen, warga disambar petir, kompor meledak, rumah terbakar, tawuran antar desa yang merusak rumah-rumah dan membuat warga luka serta sebagian tewas, sejumlah tetua desa sebelah dipimpin Pak Modin Taibu menghadap Guru Sufi. Mereka bertanya, amaliah apakah yang dilakukan warga pesantren dan kampung sekitar sehingga tidak sedikit pun pernah disinggahi bencana. “Hampir seluruh desa di kecamatan kita pernah diterjang bencana kecuali pesantren dan kampung sekitar. Adakah amaliah yang bisa menolak bala bencana, wahai guru?” tanya Modin Taibu.

Mendapat pertanyaan tak terduga, Guru Sufi malah heran. Sebab ia tidak pernah menyadari jika dalam deraan bencana yang ganti-berganti menghantam desa-desa sekitar, ternyata pesantren dan kampung sekitarnya luput dari mendapat giliran. Setelah sujud syukur dan mengutarakan rasa syukurnya kepada Allah, Guru Sufi tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Modin Taibu, sebaliknya ia menuturkan sebuah kisah yang dialami Nabi Musa AS. Dikisahkan, bahwa di zaman Nabi Musa AS, Bani Israil dilanda kekeringan panjang. Tumbuh-tumbuhan kering dan hewan-hewan mati bergelimpangan. Untuk mengatasi kekeringan yang mematikan itu, Nabi Musa AS dan tujuh puluh orang pemimpin puak-puak Bani Israil keturunan nabi keluar ke tengah padang dan berdoa memohon pertolongan Allah. Mereka menunjukkan kebenaran dan ketundukannya. Dengan merasa diri hina dan penuh ketundukan, mereka mendekatkan diri sebagai hamba yang lemah tak berdaya. Selama tiga hari mereka menangis dengan harapan doa mereka dikabulkan, tetapi hujan tidak turun juga.

Setelah melihat doanya belum terkabul, Nabi Musa AS berkata,”Ya Allah, Engkau telah berfirman “berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya”. Sungguh, kami semua telah berdoa kepada-Mu dan hamba-hamba-Mu sangat membutuhkannya dan sudah pula menghinakan diri di hadapan-Mu.” Lalu Allah bersabda kepada Nabi Musa AS,”Wahai Musa, sesungguhnya di dalam kaummu banyak orang yang makanan mereka berasal dari sebab haram. Juga banyak yang menjulurkan lidahnya untuk ghibah dan mengadu-domba. Mereka berhak mendapatkan amarah-Ku. Sedangkan engkau meminta rahmat untuk mereka. Bagaimana mungkin dapat bertemu antara rahmat dan azab?”

Nabi Musa AS bertanya,”Siapakah mereka itu wahai Tuhanku, sehingga kami bisa mengeluarkan mereka dari golongan kami?” Allah berfirman,”Wahai Musa, aku bukanlah Dzat yang membeberkan kesalahan dan bukan pula pengadu domba. Tetapi bertobatlah kalian dengan hati yang ikhlas. Mudah-mudahan mereka juga ikut bertobat bersama kalian, sehingga Aku berbuat dermawan kepada kalian semuanya.”

Nabi Musa AS dan ketujuh puluh orang pemimpin puak-puak Bani israil itu mengumpulkan semua Bani Israil. Setelah berkumpul, Nabi Musa AS memberitahukan kepada mereka tentang wahyu Allah itu. Orang-orang Israil yang maksiat ikut mendengarnya. Mereka ketakutan. Airmata mereka mengalir. Lalu bersama-sama dengan Bani Israil lain mereka bertaubat dengan berkata,”Ya Tuhan kami, kami dating kepada-Mu dan lari menjauhi dosa-dosa kami, kami kembali mencari pintu ampunan-Mu. Kasihanilah kami, wahai Dzat Yang Maha Penyayang.” Mereka terus berdoa seperti itu sampai turun hujan, sebagai bukti taubat mereka diterima Allah.

“Ya Allah,” teriak Guru Sufi mengangkat tangan,”Terimalah taubat kami, orang-orang yang bermaksiat dan berbuat dosa. Ampuni kami wahai Penguasa alam semesta. Ya Allah, terimalah taubat kami. Sesungguhnya rahmat-Mu lebih besar daripada murka-Mu. Ampunilah kami. Rahmati kami.”

Pak Modin Taibu dan para sesepuh desa sebelah ikut mengangkat tangan, meng-amin-I doa Guru Sufi dengan airmata bercucuran. Namun di tengah doa Guru Sufi yang panjang, para sesepuh itu tanpa sadar menggerutu sambil bergantian menyebut nama-nama warganya yang gemar berjudi, menjadi rentenir, menjual ayam tiren, memproduksi jamu palsu, menggelapkan dana bantuan desa, berselingkuh, dan suka menggunjing antar tetangga. “Begini ini, yang tidak ikut maksiat ikut kena getahnya,” sahut pak Modin Taibu usai berdoa.

Sebelum pak modin dan para sesepuh desa sebelah pulang, Guru Sufi membacakan sebuah hadits yang diriwayatkan Aus bin Malik yang menuturkan saat Rasulullah Saw berjalan melewati tanah kaum Anshar yang terlantar. Rasulullah Saw bertanya,”Apa yang menghalangi kalian untuk bercocok tanam?” Salah seorang Anshar menjawab,”Tanahnya gersang dan tidak subur, ya Rasulullah!”

Rasulullah Saw bertanya,”Apakah kalian tidak berpikir? Karena sesungguhnya Allah berfirman: Aku adalah Penanam. Bila Aku berkehendak, Aku menanam dengan air, angin atau dengan benih.” Lalu Rasulullah Saw membaca ayat,Apakah kalian semua tidak melihat apa yang telah kalian tanam” (Q.S.56:63). Kemudian Guru Sufi memberi penjelasan, bahwa hadits itu mengisyaratkan Allah adalah yang memberi dan sekaligus yang menahan dengan berbagai sebab. Makna Tauhid di balik hadits itu, kita harus meyakini bahwa semua pengaruh itu berasal dari Allah, dan sekali-kali bukan dari selain Dia, seperti pengaruh bintang, bulan, tanah dan semacamnya. Tetapi yang pasti, Allah akan menuntut seseorang yang bermaksiat dengan memutus rejekinya dan merusak harta bendanya.

Guru Sufi menyitir lagi sebuah hadits,”Tidak ada tahun, melainkan ada hujan. Tetapi bila suatu kaum melakukan maksiat, maka Allah akan mengalihkan hujan itu ke lainnya. Dan bila semua kaum bermaksiat, maka Allah akan menggerakkan hujan itu ke padang pasir dan lautan,” lalu Guru Sufi melanjutkan,”Tetapi Allah juga bisa berbuat sebaliknya, yaitu mencurahkan hujan yang terus-menerus dan merusak kepada mereka yang berbuat maksiat. Itulah laknat. Bahkan Allah bisa menggiring semua hujan dan badai dari padang gurun, lembah, hutan, dan lautan untuk dicurahkan kepada sekumpulan ahli maksiat sampai mereka bertaubat dan mendapat rahmat-Nya atau binasa.”

-agus sunyoto -

Makna Ash-Shadru (dada) dalam Pandangan Tasawuf

Allah SWT bersabda,”(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu (shadru) karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman (Q.S.Al-A’raf:2)”

Sabda Allah SWT yang berkait dengan ash-shadru (dada) sering hanya dimaknai sebagai organ fisik manusia yang terdiri dari tulang-tulang iga yang dibungkus daging dan kulit, yang berfungsi utama melindungi hati, jantung, paru-paru, empedu, sehingga keberadaan ash-shadru menjadi lebih dimaknai sekedar pelindung hati fisik (mudzghah) dari gangguan fisik dari luar.

Dalam term sufisme makna ash-shadru lebih menunjuk kepada aspek jasmani sekaligus ruhani, di mana aspek ruhani ash-shadru adalah substansi halus, anasir bukan materi yang melindungi istana al-Qalbu. Ash-shadru ibarat benteng kutaraja yang berperan utama melindungi istana raja. Di bagian luar benteng terdapat parit-parit dan dinding-dinding yang melindungi ash-shadru(dada), di mana parit-parit dan dinding itu memiliki tugas dan sistem khusus dalam menjaga dan mengawasi (al-muraqabah) agar ash-shadru tidak runtuh. Pagar dan parit yang mengelilingi ash-shadru struktur formasinya “dari luar (dzahir) menuju bathin” adalah sebagai berikut:

1.As-Saddan Al-Ghafara, paritnya al-Khuduud al-Maghfirah, lantainya as-Syukur diperkuat Tahlil;

2.As-Saddan Adz-Dzikru, paritnya al-Khuduud adz-Dzikru, lantainya al-Ridha, diperkuat Tahmid;

3.As-Saddan Al-Ghufran, paritnya al-Khuduud al-Nashr, lantainya ash-Shabr, diperkuat Takbir;

4.As-Saddan Al-Nashrun, paritnya al-Khuduud al-Ghalib, lantainya al-Ikhlas, diperkuat Tamjid;

5.As-Saddan Al-Jihad, paritnya al-Khuduud al-Hidayah, lantainya an-Niyyah, diperkuat Istilam;

6.As-Saddan At-Tawakkal, paritnya al-Khuduud at-Tahmid, lantainya asy-Syath, diperkuat Tasbih;

7.As-Saddan At-Taslim, paritnya al-Khuduud al-Salam, lantainya asy-Syahadah, diperkuat Istighfar dan Shalawat.

Benteng ash-shadru memiliki dua pintu gerbang dzahir, yaitu pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang An-Nahyu (larangan). Kedua pintu gerbang itu dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak) dan Al-Qudrah (kemampuan). Kedua pintu gerbang itu memiliki daun pintu penutup, yaitu Al-Jabarut dan Al-Malakut.

Di dalam benteng ash-shadru (dada) terdapat singgasana raja Nuur Al-‘Aql yang menghalangi manusia untuk memasuki Al-Qalbu dan menelusuri tahap-tahap ruhani hingga ke singgasana Maharaja Diraja “Ana”. Nuur Al-‘Aql memiliki dua wajah yang saling bertolak belakang satu sama lain. Wajah yang satu menghadap Maharaja Ghaib menerima (iqbal) dari Maharaja. Wajah yang satu lagi menghadap dunia dzahir berpaling (idbar) dari Maharaja. Nuur Al-‘Aql dikawal oleh hulubalang al-Khawathir, kilasan pikiran-pikiran yang terpuji maupun yang tercela yang masuk dengan sifat Ilahiah, ruhaniah, ananiyyah, syaithaniyyah. Nuur Al-‘Aql bersifat seperti kristal transparan yang bisa memantulkan bayangan, di mana pemunculannya tergantung pada apa yang menguasainya. Jika dikuasai an-nafs al-lwammah yang hitam, maka al-‘aql akan hitam. Jika dikuasai an-nafs sufliyyah yang kuning, maka al-‘aql akan kuning. Jika dikuasai an-nafs ammarah yang merah, maka al-‘aql akan merah. Jika dikuasai an-nafs al-muthmainnah yang putih, maka al-‘aql akan putih. Oleh karena perwujudannya transparan seperti kristal, maka al-‘aql hanya mungkin memanifestasikan dirinya dengan cara “mengikat” (‘iqal) segala sesuatu agar menjadi jism (raga), mitsal (citra), khayal (imajinasi), dan ilusi yang bersifat prasangka (wahm). Dalam perjalanan dari yang dzahir menuju yang bathin, memasuki tahap-tahap ruangan hingga ke mahligai ghaib tempat Maharaja bertahta, Nuur ‘Al-‘Aql hanya bisa mencapai tahap Akfa, di mana terdapat Pohon Teratai di Batas Terjauh (sidrah al-muntaha), yang menjadi batas Nuur Al-‘Aql harus ditanggalkan sebagai “ikatan” (‘iqal).

Di dalam benteng ash-shadru berkuasa empat raja bawahan yang wajahnya menghadap dunia dzahir berpaling (idbar) dari Maharaja. Mereka ini memiliki potensi-potensi menyerap obyek-obyek duniawi ke dalam yang berupa melihat, mendengar, mencium, merasakan, meraba (pancaindera) dan sekaligus potensi-potensi mengungkapkan respons balik naluriah mereka keluar terhadap obyek-obyek tersebut seperti berbicara, memegang, melangkah, membuang segala sesuatu yang tidak dibutuhkan tubuh, dan naluri berketurunan.

Demikianlah, segala potensi nafsu-nafsu dan al-‘aql sangat menentukan situasi dan kondisi ash-shadru. Jika ash-shadru terasa sesak dan sempit, maka itu sebagai pertanda ash-shadru dikuasai nafsu-nafsu berupa iri hati, syahwat, keinginan, dendam, cemburu, kesenangan, kemabukan, dan dikendalikan oleh kuasa al’aql berupa khayalan, prasangka, khawathir, putus asa. Namun jika ash-shadru mangalami insyirah (kelapangan), maka kuasa dari anasir ruhani yang memancar dari qalbu telah meliputi ash-shadru sehingga semua beban lepas dan kesulitan berganti kemudahan (Q.S.As-Syarh:1-6), semua dendam hilang dan hidup menjadi surgawi (Q.S.Al-A’raf:43).

- agus sunyoto -

29 April 2011

Kebiasaan Jahiliyah dan Pesan Tambahan Nabi Saw

Satu sore Sukiran anak Sukirin menghadap Guru Sufi dengan mata berkilat-kilat menahan amarah dan kejengkelan. Kepada Guru Sufi, Sukiran menanyakan berbagai dalil agama sekitar diselenggarakannya tradisi keagamaan seperti tahlilan, ziarah kubur, maulid nabi, haul, dan lain-lain yang selama ini dijalankan keluarganya. Pasalnya, waktu tahlil peringatan tujuh hari Mbah Sukimin, kakeknya, salah seorang kerabat yang jadi guru mengaji membubarkan acara itu dengan alasan bahwa tahlilan itu bid’ah dlolalah. “Kang Sukino marah-2, katanya seluruh keluarga, termasuk arwah Mbah Sukimin akan masuk neraka kalau ditahlilkan,” kata Sukiran mengadu.

“Sukino siapa le?” tanya Guru Sufi ingin tahu,”Apa itu Sukino anak Mbah Sukidin dan Mbah Sukinem?”

“Iya benar Mbah Kyai,” sahut Sukiran bersungut-sungut,”Jadi ustadz baru berapa tahun, sombongnya setengah mati. Semua orang dianggap sesat. Keblinger. Ahli neraka. Hari-hari dilewati dengan marah-marah kepada orang-2 yang dianggap sesat. Namanya sekarang ditambahi, jadi Ahad Sukino Al-Wahab,” lanjut Sukiran mengungkapkan bahwa marga Suki, belakangan ini terpecah-belah gara-gara Sukino membawa ajaran baru yang membingungkan keluarga. Kelompok marga yang ikut Sukino seperti Sukijan, Sukiwil, Sukipan, Sukibat, Sukiri, Sukipas, Sukiyono namanya ditambahi “Ahad” dan “Al-Wahab” sehingga menjadi : Ahad Sukijan Al-Wahab, Ahad Sukiwil Al-Wahab, Ahad Sukipan Al-Wahab, Ahad Sukibat Al-Wahab, Ahad Sukiri Al-Wahab, dan seterusnya. Sedang marga yang enggan mengikuti Sukino tetap saja bernama marga Suki seperti Sukidul, Sukirun, Sukijo, Sukimo, Sukipas, dan bahkan yang bekerja sebagai TKI di Jepang namanya diganti menjadi: Sukiyaki, Suki Ono, Sukimorata, Sukiomura, Sukiyoto, Sukiyono.

Guru Sufi tidak menjawab pertanyaan Sukiran dan tidak pula mengomentari pandangan ustadz Ahad Sukino Al-Wahab yang membid’ah-bid’ahkan dan menyesat-nyesatkan masyarakat yang menjalankan tradisi keagamaannya. Ia juga tidak tertarik menanggapi terjadinya perpecahan di dalam keluarga besar marga Suki. Sebaliknya, ia mengutip hadits dan menceritakannya sebagai berikut:

Al-Hakim meriwayatkan dari Al-Qamah bin Al- Haris r.a yang mengatakan,”Aku telah datang kepada Rasulullah Saw bersama dengan tujuh orang dari kaumku. Setelah kami memberi salam dan Rasulullah Saw tertarik, maka beliau bertanya, "Siapakah kalian ini ?"

Kami menjawab, "Kami adalah orang beriman."

Kemudian baginda Rasulullah Saw bertanya, "Setiap perkataan ada buktinya, apakah bukti keimanan kalian?"

Kami menjawab, "Ada limabelas perkara sebagai bukti keimanan kami. Pertama, lima perkara yang baginda perintahkan kepada kami. Lalu lima perkara yang diperintahkan oleh utusan baginda kepada kami. Lima perkara yang lain, adalah kebiasaan yang kami jalankan sejak zaman jahiliyyah”

Rasulullah Saw bertanya, "Apakah lima perkara yang aku perintahkan kepada kalian itu ?"

Mereka menjawab, "Baginda Rasul Saw telah memerintahkan kami untuk beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk."

Rasulullah Saw bertanya lagi, "Apakah lima perkara yang diperintahkan oleh para utusanku itu ?"

Mereka menjawab, "Kami diperintahkan oleh para utusan baginda untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan baginda Muhammad adalah utusan Allah, kami hendaknya mendirikan sholat wajib, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan pergi haji bila mampu."

Rasulullah Saw bertanya lagi, "Apakah lima perkara yang masih kalian kerjakan sebagai sisa kebiasaan sejak zaman jahiliyyah ?"

Mereka menjawab, "Bersyukur di waktu senang, bersabar di waktu kesusahan, berani di waktu perang, ridha pada waktu kena ujian, dan tidak merasa gembira dengan sesuatu musibah yang menimpa pada musuh."

Mendengar ucapan mereka yang amat menarik ini, Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh kamu ini termasuk di dalam kaum yang amat pandai sekali dalam agama maupun dalam tatacara berbicara, hampir-hampir saja kalian ini serupa dengan para Nabi dengan segala macam yang kalian katakan tadi."

Kemudian Rasulullah Saw bersabda melanjutkan, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada lima perkara amalan lagi yang akan menyempurnakan dari apa yang sudah kalian punyai ?”

Mereka menjawab serentak,”Tentu kami bergembira menerimanya, baginda.”

Rasulullah Saw bersabda,”Janganlah kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak akan kalian makan. Janganlah kalian mendirikan rumah yang tidak akan kalian tempati. Janganlah kalian berlomba-lomba dalam sesuatu yang bakal kalian tinggalkan. Berusahalah sebaik-baiknya mencari bekal untuk kehidupan akhirat."

Sukiran termangu-mangu mendengar kisah Al-Qamah bin Al-Haris r.a yang diriwayatkan Al-Hakim. Dalam kisah itu, ternyata Rasulullah Saw tidak melarang Al-Qamah bin Al-Haris beserta kaumnya untuk menjalankan nilai-nilai sisa kebiasaan jahiliyah, bahkan Rasulullah Saw menambahkan pesan tambahan baru lagi. “Jadi Mbah Kyai…,” kata Sukiran akan bertanya.

Guru Sufi menyahut,”Al-Mukhafadah ‘ala qadhiimi shalih…..,” sambil memberi isyarat kepada Sukiran untuk melanjutkan kaidah ushuliyah yg diucapkannya.

“Wah saya lupa lanjutannya Mbah Kyai,” sahut Sukiran ketawa kecut sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal,”Tapi saya faham maksudnya, Mbah Kyai.”

- agus sunyoto -

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...