01 Mei 2011

Maksiat, Laknat, Taubat, dan Rahmat

Setelah dihajar bencana beruntun seperti angin puting beliung, banjir, hujan tak kunjung redah, hama tikus, gagal panen, warga disambar petir, kompor meledak, rumah terbakar, tawuran antar desa yang merusak rumah-rumah dan membuat warga luka serta sebagian tewas, sejumlah tetua desa sebelah dipimpin Pak Modin Taibu menghadap Guru Sufi. Mereka bertanya, amaliah apakah yang dilakukan warga pesantren dan kampung sekitar sehingga tidak sedikit pun pernah disinggahi bencana. “Hampir seluruh desa di kecamatan kita pernah diterjang bencana kecuali pesantren dan kampung sekitar. Adakah amaliah yang bisa menolak bala bencana, wahai guru?” tanya Modin Taibu.

Mendapat pertanyaan tak terduga, Guru Sufi malah heran. Sebab ia tidak pernah menyadari jika dalam deraan bencana yang ganti-berganti menghantam desa-desa sekitar, ternyata pesantren dan kampung sekitarnya luput dari mendapat giliran. Setelah sujud syukur dan mengutarakan rasa syukurnya kepada Allah, Guru Sufi tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Modin Taibu, sebaliknya ia menuturkan sebuah kisah yang dialami Nabi Musa AS. Dikisahkan, bahwa di zaman Nabi Musa AS, Bani Israil dilanda kekeringan panjang. Tumbuh-tumbuhan kering dan hewan-hewan mati bergelimpangan. Untuk mengatasi kekeringan yang mematikan itu, Nabi Musa AS dan tujuh puluh orang pemimpin puak-puak Bani Israil keturunan nabi keluar ke tengah padang dan berdoa memohon pertolongan Allah. Mereka menunjukkan kebenaran dan ketundukannya. Dengan merasa diri hina dan penuh ketundukan, mereka mendekatkan diri sebagai hamba yang lemah tak berdaya. Selama tiga hari mereka menangis dengan harapan doa mereka dikabulkan, tetapi hujan tidak turun juga.

Setelah melihat doanya belum terkabul, Nabi Musa AS berkata,”Ya Allah, Engkau telah berfirman “berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya”. Sungguh, kami semua telah berdoa kepada-Mu dan hamba-hamba-Mu sangat membutuhkannya dan sudah pula menghinakan diri di hadapan-Mu.” Lalu Allah bersabda kepada Nabi Musa AS,”Wahai Musa, sesungguhnya di dalam kaummu banyak orang yang makanan mereka berasal dari sebab haram. Juga banyak yang menjulurkan lidahnya untuk ghibah dan mengadu-domba. Mereka berhak mendapatkan amarah-Ku. Sedangkan engkau meminta rahmat untuk mereka. Bagaimana mungkin dapat bertemu antara rahmat dan azab?”

Nabi Musa AS bertanya,”Siapakah mereka itu wahai Tuhanku, sehingga kami bisa mengeluarkan mereka dari golongan kami?” Allah berfirman,”Wahai Musa, aku bukanlah Dzat yang membeberkan kesalahan dan bukan pula pengadu domba. Tetapi bertobatlah kalian dengan hati yang ikhlas. Mudah-mudahan mereka juga ikut bertobat bersama kalian, sehingga Aku berbuat dermawan kepada kalian semuanya.”

Nabi Musa AS dan ketujuh puluh orang pemimpin puak-puak Bani israil itu mengumpulkan semua Bani Israil. Setelah berkumpul, Nabi Musa AS memberitahukan kepada mereka tentang wahyu Allah itu. Orang-orang Israil yang maksiat ikut mendengarnya. Mereka ketakutan. Airmata mereka mengalir. Lalu bersama-sama dengan Bani Israil lain mereka bertaubat dengan berkata,”Ya Tuhan kami, kami dating kepada-Mu dan lari menjauhi dosa-dosa kami, kami kembali mencari pintu ampunan-Mu. Kasihanilah kami, wahai Dzat Yang Maha Penyayang.” Mereka terus berdoa seperti itu sampai turun hujan, sebagai bukti taubat mereka diterima Allah.

“Ya Allah,” teriak Guru Sufi mengangkat tangan,”Terimalah taubat kami, orang-orang yang bermaksiat dan berbuat dosa. Ampuni kami wahai Penguasa alam semesta. Ya Allah, terimalah taubat kami. Sesungguhnya rahmat-Mu lebih besar daripada murka-Mu. Ampunilah kami. Rahmati kami.”

Pak Modin Taibu dan para sesepuh desa sebelah ikut mengangkat tangan, meng-amin-I doa Guru Sufi dengan airmata bercucuran. Namun di tengah doa Guru Sufi yang panjang, para sesepuh itu tanpa sadar menggerutu sambil bergantian menyebut nama-nama warganya yang gemar berjudi, menjadi rentenir, menjual ayam tiren, memproduksi jamu palsu, menggelapkan dana bantuan desa, berselingkuh, dan suka menggunjing antar tetangga. “Begini ini, yang tidak ikut maksiat ikut kena getahnya,” sahut pak Modin Taibu usai berdoa.

Sebelum pak modin dan para sesepuh desa sebelah pulang, Guru Sufi membacakan sebuah hadits yang diriwayatkan Aus bin Malik yang menuturkan saat Rasulullah Saw berjalan melewati tanah kaum Anshar yang terlantar. Rasulullah Saw bertanya,”Apa yang menghalangi kalian untuk bercocok tanam?” Salah seorang Anshar menjawab,”Tanahnya gersang dan tidak subur, ya Rasulullah!”

Rasulullah Saw bertanya,”Apakah kalian tidak berpikir? Karena sesungguhnya Allah berfirman: Aku adalah Penanam. Bila Aku berkehendak, Aku menanam dengan air, angin atau dengan benih.” Lalu Rasulullah Saw membaca ayat,Apakah kalian semua tidak melihat apa yang telah kalian tanam” (Q.S.56:63). Kemudian Guru Sufi memberi penjelasan, bahwa hadits itu mengisyaratkan Allah adalah yang memberi dan sekaligus yang menahan dengan berbagai sebab. Makna Tauhid di balik hadits itu, kita harus meyakini bahwa semua pengaruh itu berasal dari Allah, dan sekali-kali bukan dari selain Dia, seperti pengaruh bintang, bulan, tanah dan semacamnya. Tetapi yang pasti, Allah akan menuntut seseorang yang bermaksiat dengan memutus rejekinya dan merusak harta bendanya.

Guru Sufi menyitir lagi sebuah hadits,”Tidak ada tahun, melainkan ada hujan. Tetapi bila suatu kaum melakukan maksiat, maka Allah akan mengalihkan hujan itu ke lainnya. Dan bila semua kaum bermaksiat, maka Allah akan menggerakkan hujan itu ke padang pasir dan lautan,” lalu Guru Sufi melanjutkan,”Tetapi Allah juga bisa berbuat sebaliknya, yaitu mencurahkan hujan yang terus-menerus dan merusak kepada mereka yang berbuat maksiat. Itulah laknat. Bahkan Allah bisa menggiring semua hujan dan badai dari padang gurun, lembah, hutan, dan lautan untuk dicurahkan kepada sekumpulan ahli maksiat sampai mereka bertaubat dan mendapat rahmat-Nya atau binasa.”

-agus sunyoto -

Makna Ash-Shadru (dada) dalam Pandangan Tasawuf

Allah SWT bersabda,”(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu (shadru) karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman (Q.S.Al-A’raf:2)”

Sabda Allah SWT yang berkait dengan ash-shadru (dada) sering hanya dimaknai sebagai organ fisik manusia yang terdiri dari tulang-tulang iga yang dibungkus daging dan kulit, yang berfungsi utama melindungi hati, jantung, paru-paru, empedu, sehingga keberadaan ash-shadru menjadi lebih dimaknai sekedar pelindung hati fisik (mudzghah) dari gangguan fisik dari luar.

Dalam term sufisme makna ash-shadru lebih menunjuk kepada aspek jasmani sekaligus ruhani, di mana aspek ruhani ash-shadru adalah substansi halus, anasir bukan materi yang melindungi istana al-Qalbu. Ash-shadru ibarat benteng kutaraja yang berperan utama melindungi istana raja. Di bagian luar benteng terdapat parit-parit dan dinding-dinding yang melindungi ash-shadru(dada), di mana parit-parit dan dinding itu memiliki tugas dan sistem khusus dalam menjaga dan mengawasi (al-muraqabah) agar ash-shadru tidak runtuh. Pagar dan parit yang mengelilingi ash-shadru struktur formasinya “dari luar (dzahir) menuju bathin” adalah sebagai berikut:

1.As-Saddan Al-Ghafara, paritnya al-Khuduud al-Maghfirah, lantainya as-Syukur diperkuat Tahlil;

2.As-Saddan Adz-Dzikru, paritnya al-Khuduud adz-Dzikru, lantainya al-Ridha, diperkuat Tahmid;

3.As-Saddan Al-Ghufran, paritnya al-Khuduud al-Nashr, lantainya ash-Shabr, diperkuat Takbir;

4.As-Saddan Al-Nashrun, paritnya al-Khuduud al-Ghalib, lantainya al-Ikhlas, diperkuat Tamjid;

5.As-Saddan Al-Jihad, paritnya al-Khuduud al-Hidayah, lantainya an-Niyyah, diperkuat Istilam;

6.As-Saddan At-Tawakkal, paritnya al-Khuduud at-Tahmid, lantainya asy-Syath, diperkuat Tasbih;

7.As-Saddan At-Taslim, paritnya al-Khuduud al-Salam, lantainya asy-Syahadah, diperkuat Istighfar dan Shalawat.

Benteng ash-shadru memiliki dua pintu gerbang dzahir, yaitu pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang An-Nahyu (larangan). Kedua pintu gerbang itu dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak) dan Al-Qudrah (kemampuan). Kedua pintu gerbang itu memiliki daun pintu penutup, yaitu Al-Jabarut dan Al-Malakut.

Di dalam benteng ash-shadru (dada) terdapat singgasana raja Nuur Al-‘Aql yang menghalangi manusia untuk memasuki Al-Qalbu dan menelusuri tahap-tahap ruhani hingga ke singgasana Maharaja Diraja “Ana”. Nuur Al-‘Aql memiliki dua wajah yang saling bertolak belakang satu sama lain. Wajah yang satu menghadap Maharaja Ghaib menerima (iqbal) dari Maharaja. Wajah yang satu lagi menghadap dunia dzahir berpaling (idbar) dari Maharaja. Nuur Al-‘Aql dikawal oleh hulubalang al-Khawathir, kilasan pikiran-pikiran yang terpuji maupun yang tercela yang masuk dengan sifat Ilahiah, ruhaniah, ananiyyah, syaithaniyyah. Nuur Al-‘Aql bersifat seperti kristal transparan yang bisa memantulkan bayangan, di mana pemunculannya tergantung pada apa yang menguasainya. Jika dikuasai an-nafs al-lwammah yang hitam, maka al-‘aql akan hitam. Jika dikuasai an-nafs sufliyyah yang kuning, maka al-‘aql akan kuning. Jika dikuasai an-nafs ammarah yang merah, maka al-‘aql akan merah. Jika dikuasai an-nafs al-muthmainnah yang putih, maka al-‘aql akan putih. Oleh karena perwujudannya transparan seperti kristal, maka al-‘aql hanya mungkin memanifestasikan dirinya dengan cara “mengikat” (‘iqal) segala sesuatu agar menjadi jism (raga), mitsal (citra), khayal (imajinasi), dan ilusi yang bersifat prasangka (wahm). Dalam perjalanan dari yang dzahir menuju yang bathin, memasuki tahap-tahap ruangan hingga ke mahligai ghaib tempat Maharaja bertahta, Nuur ‘Al-‘Aql hanya bisa mencapai tahap Akfa, di mana terdapat Pohon Teratai di Batas Terjauh (sidrah al-muntaha), yang menjadi batas Nuur Al-‘Aql harus ditanggalkan sebagai “ikatan” (‘iqal).

Di dalam benteng ash-shadru berkuasa empat raja bawahan yang wajahnya menghadap dunia dzahir berpaling (idbar) dari Maharaja. Mereka ini memiliki potensi-potensi menyerap obyek-obyek duniawi ke dalam yang berupa melihat, mendengar, mencium, merasakan, meraba (pancaindera) dan sekaligus potensi-potensi mengungkapkan respons balik naluriah mereka keluar terhadap obyek-obyek tersebut seperti berbicara, memegang, melangkah, membuang segala sesuatu yang tidak dibutuhkan tubuh, dan naluri berketurunan.

Demikianlah, segala potensi nafsu-nafsu dan al-‘aql sangat menentukan situasi dan kondisi ash-shadru. Jika ash-shadru terasa sesak dan sempit, maka itu sebagai pertanda ash-shadru dikuasai nafsu-nafsu berupa iri hati, syahwat, keinginan, dendam, cemburu, kesenangan, kemabukan, dan dikendalikan oleh kuasa al’aql berupa khayalan, prasangka, khawathir, putus asa. Namun jika ash-shadru mangalami insyirah (kelapangan), maka kuasa dari anasir ruhani yang memancar dari qalbu telah meliputi ash-shadru sehingga semua beban lepas dan kesulitan berganti kemudahan (Q.S.As-Syarh:1-6), semua dendam hilang dan hidup menjadi surgawi (Q.S.Al-A’raf:43).

- agus sunyoto -
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...