29 April 2011

Kebiasaan Jahiliyah dan Pesan Tambahan Nabi Saw

Satu sore Sukiran anak Sukirin menghadap Guru Sufi dengan mata berkilat-kilat menahan amarah dan kejengkelan. Kepada Guru Sufi, Sukiran menanyakan berbagai dalil agama sekitar diselenggarakannya tradisi keagamaan seperti tahlilan, ziarah kubur, maulid nabi, haul, dan lain-lain yang selama ini dijalankan keluarganya. Pasalnya, waktu tahlil peringatan tujuh hari Mbah Sukimin, kakeknya, salah seorang kerabat yang jadi guru mengaji membubarkan acara itu dengan alasan bahwa tahlilan itu bid’ah dlolalah. “Kang Sukino marah-2, katanya seluruh keluarga, termasuk arwah Mbah Sukimin akan masuk neraka kalau ditahlilkan,” kata Sukiran mengadu.

“Sukino siapa le?” tanya Guru Sufi ingin tahu,”Apa itu Sukino anak Mbah Sukidin dan Mbah Sukinem?”

“Iya benar Mbah Kyai,” sahut Sukiran bersungut-sungut,”Jadi ustadz baru berapa tahun, sombongnya setengah mati. Semua orang dianggap sesat. Keblinger. Ahli neraka. Hari-hari dilewati dengan marah-marah kepada orang-2 yang dianggap sesat. Namanya sekarang ditambahi, jadi Ahad Sukino Al-Wahab,” lanjut Sukiran mengungkapkan bahwa marga Suki, belakangan ini terpecah-belah gara-gara Sukino membawa ajaran baru yang membingungkan keluarga. Kelompok marga yang ikut Sukino seperti Sukijan, Sukiwil, Sukipan, Sukibat, Sukiri, Sukipas, Sukiyono namanya ditambahi “Ahad” dan “Al-Wahab” sehingga menjadi : Ahad Sukijan Al-Wahab, Ahad Sukiwil Al-Wahab, Ahad Sukipan Al-Wahab, Ahad Sukibat Al-Wahab, Ahad Sukiri Al-Wahab, dan seterusnya. Sedang marga yang enggan mengikuti Sukino tetap saja bernama marga Suki seperti Sukidul, Sukirun, Sukijo, Sukimo, Sukipas, dan bahkan yang bekerja sebagai TKI di Jepang namanya diganti menjadi: Sukiyaki, Suki Ono, Sukimorata, Sukiomura, Sukiyoto, Sukiyono.

Guru Sufi tidak menjawab pertanyaan Sukiran dan tidak pula mengomentari pandangan ustadz Ahad Sukino Al-Wahab yang membid’ah-bid’ahkan dan menyesat-nyesatkan masyarakat yang menjalankan tradisi keagamaannya. Ia juga tidak tertarik menanggapi terjadinya perpecahan di dalam keluarga besar marga Suki. Sebaliknya, ia mengutip hadits dan menceritakannya sebagai berikut:

Al-Hakim meriwayatkan dari Al-Qamah bin Al- Haris r.a yang mengatakan,”Aku telah datang kepada Rasulullah Saw bersama dengan tujuh orang dari kaumku. Setelah kami memberi salam dan Rasulullah Saw tertarik, maka beliau bertanya, "Siapakah kalian ini ?"

Kami menjawab, "Kami adalah orang beriman."

Kemudian baginda Rasulullah Saw bertanya, "Setiap perkataan ada buktinya, apakah bukti keimanan kalian?"

Kami menjawab, "Ada limabelas perkara sebagai bukti keimanan kami. Pertama, lima perkara yang baginda perintahkan kepada kami. Lalu lima perkara yang diperintahkan oleh utusan baginda kepada kami. Lima perkara yang lain, adalah kebiasaan yang kami jalankan sejak zaman jahiliyyah”

Rasulullah Saw bertanya, "Apakah lima perkara yang aku perintahkan kepada kalian itu ?"

Mereka menjawab, "Baginda Rasul Saw telah memerintahkan kami untuk beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk."

Rasulullah Saw bertanya lagi, "Apakah lima perkara yang diperintahkan oleh para utusanku itu ?"

Mereka menjawab, "Kami diperintahkan oleh para utusan baginda untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan baginda Muhammad adalah utusan Allah, kami hendaknya mendirikan sholat wajib, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan pergi haji bila mampu."

Rasulullah Saw bertanya lagi, "Apakah lima perkara yang masih kalian kerjakan sebagai sisa kebiasaan sejak zaman jahiliyyah ?"

Mereka menjawab, "Bersyukur di waktu senang, bersabar di waktu kesusahan, berani di waktu perang, ridha pada waktu kena ujian, dan tidak merasa gembira dengan sesuatu musibah yang menimpa pada musuh."

Mendengar ucapan mereka yang amat menarik ini, Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh kamu ini termasuk di dalam kaum yang amat pandai sekali dalam agama maupun dalam tatacara berbicara, hampir-hampir saja kalian ini serupa dengan para Nabi dengan segala macam yang kalian katakan tadi."

Kemudian Rasulullah Saw bersabda melanjutkan, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada lima perkara amalan lagi yang akan menyempurnakan dari apa yang sudah kalian punyai ?”

Mereka menjawab serentak,”Tentu kami bergembira menerimanya, baginda.”

Rasulullah Saw bersabda,”Janganlah kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak akan kalian makan. Janganlah kalian mendirikan rumah yang tidak akan kalian tempati. Janganlah kalian berlomba-lomba dalam sesuatu yang bakal kalian tinggalkan. Berusahalah sebaik-baiknya mencari bekal untuk kehidupan akhirat."

Sukiran termangu-mangu mendengar kisah Al-Qamah bin Al-Haris r.a yang diriwayatkan Al-Hakim. Dalam kisah itu, ternyata Rasulullah Saw tidak melarang Al-Qamah bin Al-Haris beserta kaumnya untuk menjalankan nilai-nilai sisa kebiasaan jahiliyah, bahkan Rasulullah Saw menambahkan pesan tambahan baru lagi. “Jadi Mbah Kyai…,” kata Sukiran akan bertanya.

Guru Sufi menyahut,”Al-Mukhafadah ‘ala qadhiimi shalih…..,” sambil memberi isyarat kepada Sukiran untuk melanjutkan kaidah ushuliyah yg diucapkannya.

“Wah saya lupa lanjutannya Mbah Kyai,” sahut Sukiran ketawa kecut sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal,”Tapi saya faham maksudnya, Mbah Kyai.”

- agus sunyoto -

Jangan Mendikte dan Membayangkan Diri Seolah Tuhan

Bosan doanya selama bertahun-tahun tidak dikabulkan Tuhan, dengan wajah kusut Dullah menghadap Guru Sufi. Dengan nada putus asa ia menyatakan bahwa tidak terkabulnya doa yang dipanjatkannya, mungkin berkaitan dengan nasib dirinya yang kurang beruntung karena tidak dihiraukan Tuhan akibat dosa-dosanya. “Padahal, saya yakin dengan kebenaran sabda Rasulullah Saw ad-du’a silakhul mu’miin (doa adalah senjata bagi orang beriman) dan juga janji Allah: "berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60." Tapi faktanya, sampai saat ini doa saya tidak dikabul juga oleh-Nya. Entah dosa dan kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga do’a saya tidak dikabul Tuhan,” kata Dullah memprotes.

Guru Sufi tersenyum. Lalu dengan suara datar ia mengutip petuah bijak dari Al-Hikam yang berbunyi:

“Jangan engkau berputus asa karena kelambatan pemberian Allah kepadamu, padahal doamu bersungguh-sungguh. Allah telah menjamin menerima semua doa sesuai dengan yang Dia kehendaki untukmu pada waktu yang telah Dia tentukan. Bukan menurut kehendakmu dan bukan pada waktu yang engkau tentukan”.

“Mohon maaf guru,” kata Dullah ingin tahu,”Apa maksud guru tentang kelambatan pemberian Allah dan ketentuan pemberian menurut kehendak-Nya? Bukankah janji Allah sudah jelas: berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60? Kenapa harus ditunda-tunda?”

“Engkau pernah melihat pengemis meminta sedekah?” tanya Guru Sufi.

“Tentu pernah, guru.”

“Apakah yang menentukan lama dan cepatnya suatu pemberian sedekah itu sang pengemis atau orang yang memberi sedekah?”

“Tentu yang memberi sedekah, guru.”

“Yang menentukan besar dan kecilnya pemberian sedekah apakah sang pengemis atau pemberi sedekah?” tanya Guru Sufi.

“Yang memberi sedekah, guru.”

“Jika pemberi sedekah tidak memberi uang seperti yang diinginkan pengemis tetapi member roti, kue, nasi bungkus, apakah pengemisnya boleh marah-2 karena diberi yg bukan keinginannya?” tanya Guru Sufi.

“Tentu tidak, guru,” kata Dullah tak mau kalah,”Tapi saya kan bukan pengemis dan Allah bukan pemberi sedekah yang sukarela memberi? Bukankah Dia sudah berjanji: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran- Q.S. Al Baqarah: 186? Bukankah Rasulullah Saw juga bersabda: “Tiada seorangpun yang berdoa, melainkan Allah pasti akan mengabulkan doanya atau dihindarkan dari bahaya padanya atau diampuni sebagian dari dosanya selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang menjurus kepada dosa atau untuk memutuskan hubungan sanak keluarga?”

“Dalil yang engkau sampaikan sudah benar,” kata Guru Sufi merendah,”Tapi dalil yang mengatakan doa Dullah bakal dikabul Allah kan tidak ada? Atau dalil bahwa Allah bakal mengabulkan doa si Dullah juga kan tidak ada?”

“Jadi? Bisa saja doa saya memang tidak dikabul, guru ?” gumam Dullah sedih.

“Bukan begitu maksudnya. Tapi orang yang berdoa disuruh bersabar menunggu pemenuhan doanya. Orang yang berdoa juga harus ikhlas menerima jika yang dikabul itu bukan doa seperti yang dikehendakinya, melainkan sesuai yang dikehendaki Allah. Sabar. Itu kunci doa sesuai sabda-Nya agar kita meminta tolong kepada-Nya dengan sabar dan shalat. Karena orang yang sudah dijamin akan dikabulkan doanya oleh Allah pun, ternyata masih disuruh bersabar menunggu penggenapan janji-Nya.”

“Adakah yang seperti itu?” tanya Dullah penasaran.

“Pernahkah engkau mendengar kisah Nabi Musa dan Nabi Harun yang berdoa dan doa mereka dikabulkan Allah sesuai firman-Nya: “ Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-sekali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui – Q.S. Yunus: 89? Tahukah engkau tentang itu?”

“Ya saya tahu, saya pernah dengar kisah itu, guru.”

“Menurutmu, berapa lama kira-kira jarak antara saat doa kemenangan Nabi Musa dan Nabi Harun itu dikabulkan Allah dengan terwujudnya kemenangan mereka dalam kenyataan?” tanya Guru Sufi.

“Menurut saya, kira-kira sekitar dua atau tiga tahun, guru.”

“Kurang tepat. Yang benar janji Allah memberi kemenangan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun dalam melawan Fir’aun itu, jarak rentang waktunya dengan realita kemenangan lamanya empat puluh tahun,” kata Guru Sufi.

“Empat puluh tahun?” Dullah terperangah kaget dan kemudian menggumam,”Waduh, kalau Nabi Musa saja keterkabulan doanya butuh waktu empat puluh tahun, bagaimana dengan awak yang bukan nabi dan bukan wali?”

“Kisah Nabi Musa tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang, karena usia manusia sekarang ini rata-rata lebih pendek dari usia Nabi Musa yang 120 tahun,” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Jadi…?”

“Kisah itu menunjuk, keterkabulan doa butuh waktu sesuai yang ditentukan Sang Pengabul doa. Jadi, bersabarlah dan jangan berburuk sangka kepada-Nya. Pun jangan pernah mendikte-dikte Tuhan agar Dia memenuhi doamu sesuai keinginan nafsu yang membayangimu! Sadarlah bahwa engkau hanyalah manusia dan bukan Tuhan. Jadi jangan pernah membayangkan Tuhan harus memenuhi keinginanmu sesuai angan-anganmu."

Jagalah Kebersihan Pikiran

Lima hari tinggal di pesantren sufi sebagai tamu, Adi Bauha seorang muslim modern yang sedang menyusun disertasi tentang praktek-praktek tasawuf di era global, mendapati sejumlah amaliah aneh yang dilakukan Guru Sufi. Pada malam dingin yang hujan, misal, ia diam-diam mengikuti Guru Sufi pergi ke perempatan jalan dekat pasar tempat Guru Sufi biasa membeli nasi goreng. Ternyata, nasi goreng itu diberikan kepada seorang perempuan tidak waras yang tidur di pinggir jalan, tak perduli hujan atau terang. “Bukankah, sebagai guru, dia bisa menyuruh murid atau anaknya untuk membeli nasi goreng dan memberikannya kepada orang tidak waras itu,” kata Adi Bauha dalam hati,"Kenapa harus dilakukan sendiri?"

Adi Bauha makin kaget saat mendapati keanehan Guru Sufi yang lain, yaitu mengajak seorang gelandangan kurang waras yang berpakaian compang-camping dan kotor untuk makan siang bersama. Adi Bauha yang sedianya ikut makan, mengurungkan niatnya karena nafsu makannya mendadak hilang saat duduk bersama gelandangan bau tengik itu. Yang juga memusingkannya, para pengemis, pengamen, peminta sumbangan baik tua maupun muda selalu dikasi. Guru Sufi tidak pernah menolak “benalu” masyarakat itu. Bahkan pernah sekali Adi Bauha memergoki, saat Guru Sufi tidak punya uang untuk dikasikan pengemis, ia memberikan satu kilo beras yang akan dimasak untuk makan siang. “Bersedekah memang baik. Tapi kalau anak-anak muda pemalas sudah menadahkan tangan meminta-minta dan terus diberi, itu tidak mendidik,” kata Adi Bauha dalam hati.

Ketika satu pagi mendapati Guru Sufi memberi sumbangan seorang laki-laki berpenampilan kusut dengan pakaian kumal yang mengaku panitia pembangunan masjid, Adi Bauha tidak dapat lagi menahan diri untuk tidak bertanya. Dengan nada memprotes, ia bertanya tentang “kepolosan” Guru Sufi yang selalu percaya kepada peminta sumbangan yang seringkali palsu. “Apakah itu tidak sama maknanya dengan memberi dukungan kepada para pemalas yang akan menggantungkan hidup dari sedekah orang?” tanya Adi Bauha.

Dengan senyum Guru Sufi tidak memberi jawaban, melainkan bercerita tentang pengalaman Syekh Abul Qosim Al-Junaid Al Baghdadi, tokoh sufi yang besar pengaruhnya, yang wafat di Baghdad tahun 298 H- (910 M). Dengan tenang Guru Sufi mulai cerita,”Al-Junaid memiliki majelis pengajian yang diikuti oleh siapa saja. Satu saat, ada seorang laki-laki yang mengemis di antara anggota majelis pengajian. Al-Junaid berpikir,Laki-2 itu masih sangat sehat. Dia masih mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Tapi mengapa dia mengemis dan menghinakan diri sendiri?"

“Malam itu, al-Junaid tiba-2 bermimpi diberi suatu suguhan hidangan yang tertutup. Lalu ia ditawari untuk memakan hidangan itu. Saat al-Junaid membuka penutup hidangan, ia mendapati lelaki pengemis tadi terbaring mati di atas wadah itu. Seketika al-Junaid berteriak:

Aku tidak makan daging manusia. Terdengar suara: Jika demikian, kenapa engkau berbuat seperti itu di masjid?".

"Al-Junaid terbangun. Ia sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan karena telah berpikiran tidak baik terhadap seseorang, dan ia telah ditegur karena pikiran buruknva itu. Al-Junaid menceritakan: Saat aku terjaga, aku ketakutan. Aku pun berwudhu dan shalat dua rakaat. Lalu aku pergi mencari pengemis itu. Dan aku mendapatinya di tepi Sungai Tigris sedang memunguti sisa-2 sayuran yang dicuci orang. Laki-2 itu pun memakan sisa-2 sayuran itu. Saat aku mendekat, laki-2 itu mengangkat kepalanya. Saat melihatku, ia mendekat dan menyapaku: Junaid, apakah engkau telah bertobat atas pikiran-pikiranmu mengenaiku? Yang segera kujawab,”Ya, aku telah bertobat saudaraku.”

“Kalau begitu, pergilah,” kata laki-2 itu, "Allah jua Yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya. Tapi kini, jagalah pikiran-pikiranmu! Begitulah, saudara, seperti al-Junaid aku selalu berusaha untuk menjaga pikiranku dari macam-macam kotoran kecurigaan terhadap siapa pun di antara manusia, baik gelandangan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, bahkan orang gila yang meminta atau tidak meminta-minta. Aku tidak mau mengotori pikiranku dengan mencurigai siapa pun yang meminta kepadaku."

- agus sunyoto -

Hegemoni US Maritime Abad ke-21 & Bajak Laut Somalia

Gara-gara dibawakan Indra Surya, seorang santri yang studi ke Amerika Serikat sebuah buku berjudul The Next 1000 Years. A Forecast for the 21st Century karya George Friedman, Guru Sufi buru-buru mengumpulkan kawan-kawan dekatnya seperti Sufi Kenthir, Sufi tua, Sufi gelandangan, Sufi Sudrun, Sufi Jadzab, Sufi gemblung, dan sejumlah santri seperti Dullah, John Kampret, Markasan, Mat Pelor, Tavip, dan Didik Suneo. Setelah memberi pengantar singkat bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk mengupas secara singkat informasi dari buku berisi analisis George Friedman yang memprediksi tatanan global 100 tahun ke depan.

“Bukan ramalan Friedman yang kuanggap penting,” kata Guru Sufi memulai bahasan,”Tapi informasi faktual yang disampaikannya yang sangat penting, khususnya prediksinya tentang United State of America. Ini penting, karena menyangkut kebijakan-kebijakan Uncle Sam di berbagai belahan dunia, yang sangat berpengaruh terhadap nasib bangsa-bangsa, termasuk bangsa kita.”

Tavip yang membaca sekilas ringkasan buku yang difotokopi empat lembar, mengerutkan keningnya dan bertanya,”Informasi aktual apakah yang penting yang disampaikan Friedman?”

“Kekuatan armada laut Amerika,” sahut Guru Sufi menegaskan,”Yang akan membawa negeri Uncle Sam itu sebagai hegemon dalam tatanan dunia 100 tahun ke depan.”

“US Navy?” tanya Tavip.

“Salah satunya.”

“Maksud armada?” tanya Tavip minta penjelasan.

“Ya armada dalam makna kekuatan angkutan laut, baik berkait dengan US Navy yang militer maupun armada angkutan laut komersial,” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Di mana pentingnya armada laut Amerika ke depan?” tanya Tavip masih belum faham, ”Bagaimana Pak Kyai bisa yakin Amerika akan menjadi hegemon selama 100 tahun ke depan.”

“Tahukah engkau, apakah angkutan massal untuk produk-produk komoditas antar benua yang paling murah?” tanya Guru Sufi.

Tavip merenung sejenak. Setelah itu ia berkata agak ragu,”Angkutan kapal laut, Pak Kyai.”

“Tepat sekali,” sahut Guru Sufi,”Sejarah sedikitnya telah mencatat bahwa pernah ada manusia terkaya di dunia bernama Aristotle Onassis, Sang Raja Kapal dari Yunani. Sejarah juga mencatat, bagaimana Inggris yang luas negara pulaunya kurang dari seperempat Kalimantan, telah berjaya menjadi penjajah nomor wahid dan menggaruk kemakmuran, karena armada lautnya terkenal sangat kuat. Nah, kalau kedudukan Onassis dan Inggris itu diambil alih oleh Amerika Serikat, negara yang berada pada rentangan jalur perniagaan Trans-Pasific dan Trans-Atlantic, apa kira-kira yang akan terjadi ?”

Ya mereka akan jadi penguasa dunia,” sahut Sufi Kenthir menyela,”Makanya, kapal induk Amerika keliling ke mana-mana itu dalam rangka mengawal armada niaganya.”

“Bagaimana menurut pendapat sampeyan, Mbah?” tanya Guru Sufi kepada Sufi Jadzab.

“Menurut temanku, Abi Yusuf,” sahut Sufi Jadzab sambil garuk-garuk kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal,”Kapal-kapal induk Amerika itu sering lewat di atas keratonnya Nyi Roro Kidul. Katanya, kapal-kapal itu parkir di pangkalan utamanya di Pulau Kecil Diego Garcia, di selatan Aceh.”

“Apakah Abi Yusuf, teman sampeyan itu bangsa jin, mbah?” tanya Dullah menggoda.

“Ya pasti,” sahut Sufi Jadzab,”Karena itu dia tahu segala apa yang dilakukan manusia di atas lautan yang menjadi kediamannya.”

Sufi tua yang sejak tadi diam, tiba-tiba ikut bicara dengan bertanya,”Bagaimana dengan kekuatan Cina sebagai produsen kolosal dari komoditas termurah di dunia?”

“Tidak cukup kuat menghadapi kekuatan Amerika,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Sebab sebanyak dan semurah apa pun komoditas Cina, negeri itu tidak cukup memiliki armada laut untuk mengangkut semua produksinya ke seluruh penjuru dunia. Cina tetap butuh kapal-kapal Amerika untuk mengangkut produk komoditasnya.”

Dullah yang penasaran dengan jawaban Sufi Jadzab, bertanya lagi tentang apa yang akan dilakukan negeri Uncle Sam itu ke depan dengan kekuatan armadanya itu,”Apakah Amerika akan benar-benar menjadi hegemon selama 100 tahun ke depan? Bagaimana ini Mbah?”

Sufi Jadzab menyeruput kopi dan sesudah itu menjawab sekenanya,”Yang pasti, orang-orang rakus bin tamak bin serakah bin loba, akan berusaha menjadi satu-satunya pemegang monopoli. Itu sudah sifat nafsu rendah lwammah dan ammarah. Jadi aku percaya informasi yang diberikan Abi Yusuf tentang berbagai rekayasa jahat melemahkan armada-armada dari negara-negara lain. Aku percaya ketika Abi Yusuf memberitahu bahwa rampok-rampok Somalia yang membajak kapal-kapal itu tidak berdiri sendiri. Rampok-rampok itu sengaja diperintahkan untuk beroperasi menyandera kapal-kapal dari berbagai negara kecuali kapal-kapal dari….negerinya Dajjal…Ha ha ha.”

“Dalam tempo setahun-dua tahun ke depan, dengan maraknya penyanderaan kapal-kapal oleh Somalia, citra transportasi laut negara-negara yang pernah disandera menjadi pudar. Pengusaha-pengusaha enggan menyewa kapal milik Indonesia, Malaysia, Korea, Perancis, Cina yang pernah disandera. Mereka akan memilih kapal-kapal angkut yang tidak pernah disandera. Wah wah, skenario neo-imperialisme lagi ini yang dijalankan kekuatan Dajjal,” sahut Sufi Sudrun.

“Waduh mati aku,” sahut John Kampret tiba-tiba sambil menepuk keningnya,”Adikku kuliah di Fakutas Teknik Perkapalan. Pastinya, suram masa depannya, soalnya bangsa rakus itu tidak akan membiarkan negeri kita bangkit membangun kekuatan maritim. Lewat kaki tangannya, elit politik dan penguasa kita, akan “dititahkan” menjalankan kebijakan-kebijakan yang melemahkan semua aspek terkait kekuatan maritim bangsa kita.”

“Benar itu,” sahut Sufi tua membenarkan,”Dulu presiden Soekarno sangat concern terhadap pengembangan kekuatan laut, telah membuat negeri kita disegani. Tapi setelah Bung Karno jatuh, Orde Baru membawa negeri ini sebagai negeri berorientasi agraris. Sejak Orde Baru itulah, negeri kita terpuruk tidak mampu bangkit lagi karena mentalitas yang dibangun adalah mentalitas petani.”

Oo benar kang,” sahut Sufi Kenthir,”Gus Dur dulu kan sadar tentang vitalnya membangun kekuatan maritim. Karena itu dalam kabinetnya, untuk kali pertama semenjak Orde Baru, dibentuk kementerian kelautan. Tapi nasibnya juga seperti Bung Karno, Gus Dur dijatuhkan. Kekuatan maritim kita sampai sekarang tetap tidak bisa bangkit. Bahkan sekarang pun kapal kita disandera MAFIA perwakilan Somalia tanpa kita bisa berbuat apa-apa kecuali memenuhi keinginan MAFIA hitam itu.”

"Isu lain dakam buku itu apa lagi, guru,"tanya Dullah penasaran.

"Tunggu sebentar, topik ini kan belum selesai,"

- agus sunyoto -

Forum Muslim Tanpa Nama Islam

Suatu sore, tiga orang aktivis muda, Bambang, Totok dan Khoirul menghadap Guru Sufi . Mereka meminta restu sekaligus barokah doa untuk membentuk forum persaudaraan muslim yang dinamai FORUM SOLIDARITAS ISLAM, yang bertujuan menggalang solidaritas kaum muslimin dalam menghadapi gelombang globalisasi yang akan menghilangkan identitas etnis, budaya, bahasa, agama, bahkan teritorial negara. Namun jauh dari harapan mereka bertiga, Guru Sufi justru tidak sepakat dengan penyertaan nama ISLAM dari forum itu. Guru Sufi menyarankan, agar mereka mencari nama lain yang representatif mewakili Keislaman.

Curiga ada agenda tersembunyi di balik penolakan Guru Sufi terhadap nama Islam, Totok menyoal latar ditolaknya sebutan Islam dalam menamai forum. “Apakah penolakan Mbah Kyai tidak berkaitan dengan Islamophobia?” tanya Totok minta penegasan, yang disusul pertanyaan Bambang dan Khoirul,”Kami hanya mohon penjelasan, Mbah Kyai, untuk memberi alasan kepada teman-teman jika mereka nanti bertanya tentang digantikannya nama Islam pada forum ini.”

Dengan sabar Guru Sufi balik bertanya,”Apakah kalian bertiga sudah membaca buku yang ditulis Samuel P. Huntington yang berjudul The Clash of Civilizations And The Remaking of World Order?”

“Belum Mbah Kyai,” sahut Bambang dan Totok, tetapi Khoirul mengaku sudah membacanya.

“Apakah kalian bertiga sudah mengetahui sosio-psiko linguistik masyarakat Indonesia, baik dari membaca teori maupun dengan meneliti langsung realita di lapangan?” tanya Guru Sufi lagi.

“Kami belum mengetahuinya. Mbah Kyai,” sahut Bambang dan Totok heran,”Dan apa hubungan semua itu dengan nama Islam bagi forum yang akan kami bentuk?”

“Jika Mas Khoirul sudah membaca tulisan Huntington, pasti akan bisa menyimpulkan adanya skenario global untuk menciptakan panggung konflik di era global pasca runtuhnya komunisme dunia. Maksudnya, di era global sekarang ini konflik yang terjadi bukan lagi antara golongan proletar yang diwakili komunis dan golongan borjuis yang diwakili kapitalis, melainkan konflik antara Islam dengan Kristen di satu pihak dan dengan Konghucu di lain pihak. Nah, dengan menangkap makna di balik skenario global yang dilancarkan sejak dasawarsa 1990-an, Islam sudah diposisikan sebagai common enemy bagi seluruh bangsa di dunia,” papar Guru Sufi.

“Jadi, kalau kita memakai nama Islam untuk aktivitas ke luar, sama artinya dengan memberi dukungan bagi skenario Huntington itu Mbah Kyai?” tanya Khoirul ingin penjelasan.

“Ya sudah pasti seperti itu.”

“Lalu alasan sosio-psiko linguistik untuk tidak menggunakan nama ISLAM itu dasarnya apa?” tanya Bambang, Totok dan Khoirul berbarengan.

“Bangsa kita adalah bangsa maritim yang punya sejarah panjang dalam proses menciptakan kosa kata beserta asumsi makna yang menyertainya. Dan sejauh yang aku ketahui, kosa kata yang berakhiran AM, cenderung dimaknai secara negatif sebagai sesuatu yang menakutkan,” kata Guru Sufi menjelaskan.

“Contohnya apa Mbah Kyai?” tanya Khoirul penasaran.

“Coba kalian deretkan kosa-kosa kata : SelAM, dalAm, karAM, tenggelAM, rendAM, hitAM, malAM, kelAM, surAM, murAM, kusAM, burAM, serAM, kejAM, curAM, tajAM, silAM, dendAM, gendAM, jerAM, pendAM, kecAM, lebAM, tikAM, ancAM, hantAM, gerAM, makAM, jahanAM, dan banyak lagi,” kata Guru Sufi memberi contoh,”Termasuk dengan kata-kata Islam yang sudah terlanjur membentuk asumsi konotatif yang menakutkan bagi masyarakat bangsa kita seperti: Darul Islam/ Tentara Islam (DI/TII), Negara Islam (NII), Brigade Pembela Islam, Forum Masyarakat Islam, Jaringan Liberal Islam, dan lain-lain.”

“Tapi Mbah Kyai,” kata Totok menyela,”Niat kami baik.”

“Aku tahu maksud kalian baik,” kata Guru Sufi,”Kalian ingin menunjukkan identitas Islam di tengah arus globalisasi. Tetapi aku melihat potensi, forum solidaritas yang akan kalian bentuk itu potensial menimbulkan kekerasan dalam mengatasi masalah yang akan bermunculan. Itu sebabnya, aku kurang sepakat. Tapi kalau forum itu untuk kegiatan sosial seperti pendidikan, panti asuhan, panti wredha yang tidak memungkinkan bagi terjadinya kekerasan, tidak masalah kalian menggunakan nama Islam. Kalau untuk forum-2 solidaritas pakai nama yang netral. Soalnya, sekarang ini jangankan bicara tentang solidaritas, orang bicara tentang HAM saja sudah potensial untuk menghadapi kekerasan sampai dikirimi bom. Soalnya, HAM itu kosa kata yang berakhiran AM.”

- agus sunyoto -

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...